Disana ada keindahan, dan bersamanya ada pula
kemiskinan. Ya, mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Indonesia. Kenyataan
yang aku temukan setelah beberapa kali mengunjungi tempat tempat yang indah di
negeri ini. Bukan tanpa alasan aku menyebut kemiskinan ada di setiap keindahan
itu, diberbagai tempat indah yang aku kunjungi, selalu saja ada nada yang sama,
nada lemah, nada yeng meminta belas kasihan serta nada yang seakan menyerah
pada kemiskinan, padahal nada nada itu ada di tempat yang sangat indah, punya
nilai wisata yang tinggidan seharusnya hidup mereka bisa lebih baik dari itu..
Sebagai contoh, pagi hari tanggal 31 desember 2012,
waktu itu aku berjalan dari Puncak Penanjakan di taman nasional bromo tengger
semeru, Ya, Bromo, siapa yang tak kenal dengan keindahannya, view penanjakan di
fajar hari sangatlah indah, seperti surga di tanah indonesia ini, itulah yang awalnya
aku rasakan saat di puncak penanjakan tapi, perasaan janggal muncul ketika di
tengah perjalanan, aku melihat sekeluarga kecil, seorang ayah yang yang
berkalung sarung lusuhm serta istrinya yang sedang mendiamkan anak mereka yang sedang
sakit dan merengek meminta sesuatu, entah jajan atau apa.. Sejenak aku terdiam,
melihat keluarga kecil itu, aneh terasa, di tempat yang seperti ini, masih ada
saja keluarga yang hidup dalam kemiskinan, yang untuk menyenangkan anak mereka
yang sedang sakit pun tak mampu, apa yang salah.? Apa mereka terlalu malas,
atau apa.? Entahlah, bayanganku buyar seketika saat si ayah menawarkan jagung
bakar padaku dengan muka memelas, aku hanya tersenyum dan mengatakan tidak,
terlihat di belakangnya si anak mulai menangis dan si ayah berusaha
mendiamkannya, ya, dengan ekspresi entah sedih, malu marah atau menyesal, aku
tak tau bagaimana menggambarkannya dengan tulisan, yang jelas itu membuatku
iba, tapi budgetku tipis saat itu, tak ada jatah untuk jagung bakar, maaf pak,
aku tidak bisa membantu. Masih dengan pertanyaan tadi, aku pun melanjutkan
perjalanan dan berharap ada wisatawan lain yang membeli jagung bakar bapak yang
tadi tapi ternyata di bawah, masih banyak wajah wajah yang sama, ekspresi
memelas yang sama, di tempat yang sama.
Bukan hanya di bromo, 2 bulan sebelumnya, aku
melihat pemandangan sejenis di Bali, ya, Bali, the land of god, surga wisata
yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Waktu itu, pagi hari ketika aku dan
rombongan selesai melihat Tari Barong, seperti biasa di depan gelanggan banyak
pedagang asongan menjajakan dagangannya, dan seorang ibu separuh baya
mendatangiku menawarkan ikat kepala khas bali, harganya 3000 rb, tapi saat itu
budgetku sangat ketat, semuanya sudah terencana, dan tak bolah ada pengeluaran
di luar rencana, terlihat pelit memang, tapi memang itu caraku. Aku hanya punya
1500 (recehan), sisa dari jadwal pengeluaran sebelumnya, aku berkata pada ibu
itu, “saya hanya punya 1500, kalau boleh saya beli” dan siibu itu, setengah
marah, tetap merayu saya untuk membeli ikat kepakanya seharga 3000 , aku
katakan sekali lagi “ maaf bu, saya hanya punya segini ambil menunjukan recehan
di tanganku, kalau boleh ini saya beli..” , awalnya aku berpikir dia mau
memberikannya karena pasti kalau pun dia rugi, kan bisa ditutup dengan hasil
penjualan lainnya, ini kan bali, semua wisatawan normal menghabiskan banyak
uang untuk belanja disini, atau mungkin juga dia tidak mau dan akan
meninggalkanku. Tapi, dia mengatakan sesuatu yang mengagetkan ku “kalo gitu
uangnya saya minta saja mas” ah, aku sedikit tak peraya “apa buk.?” “uangnya
saya minta saja”, ya dia memperjelasnya di perkataan yang kedua, dan itu, ah,
ayolah, ini Bali, kenapa harus ada mental Meminta-Minta, sebegitu miskinkah
dia.? Lalu kemana uang yang dibayarkan para wisatawan itu pergi.? Kenapa warga
bali sampai ada yang minta-minta.? Ya, aku hanya mengatakan tidak boleh,
kemudian meninggalkan ibu itu dan kembali ke bus.
Pertanyaannya.?
Ya, jelas, apa yang salah disini, 2 tempat itu,
bukan Cuma 2 tempat itu, tapi di banyak tempat indah di negeri ini, tak ada
yang menyangkal keindahannya, ribuan wisatawan datang membawa uangnya setiap
tahun, tapi kenapa masyarakatnya masih miskin.? Kenapa harus ada muka memelas,
atau kalimat meminta minta.? Kemana larinya uang para wisatawan itu.? Apa semua
wisatawan itu low budget sepertiku.?
Jawabnya.?
Entahlah , yang jelas, semua wisatawan membayar
retribusi, dan banyak juga yang membeli oleh oleh, tapi masyarakat di tempat
yang indah itu masih saja miskin, ah, sekali lagi, entahlah.. mungkin inilah
potret nyata dunia wisata negeri kita, lalu tanggung jawab siapa.? Kita semua,
ya, semuanya, dari pengelola (pemerintah/swasta), kita para wisatawan dan yang
paling utama, masyarakat itu sendiri..
Surakarta, 22 Maret 2013
Bima Handoko

Tidak ada komentar:
Posting Komentar