Oke, kali ini bakal gue lanjutin
cerita tentang jalan jalannya gue ke dieng plateau, di bagian pertama
kemaren udah gue ceritain tentang Kawah Sikidang, Komplek Candi
Arjuna sama Telaga Balekambang, sekarang giliran telaga warna sama
dieng plateau teater..
Telaga Warna, adalah sebuah
telaga gunung yang paling terkenal sekaligus paling mainstream di
kawasan dieng plateau. Jarak ke telaga warna dari pintu belakang
candi arjuna sekitar 2 km melewati pinggiran desa dieng kulon,
awalnya sih pengen jalan berempat (gue sama 3 mbak mbak dari jakarta
yg sebelumnya barengan ke telaga balekambang),
namun karena 2 dari 3 mbak mbak itu udah nyerah kecapekan dan cuma satu yang tetep pengen ke telaga warna, akhirnya cuma 2 dari kami yang pergi, dan karena cuma 2 orang, kayaknya naik vicky lebih logis dari pada jalan kaki, hehehe.. gue ke telaga warna berdua aja, 5 menit motor an kami sampe di parkiran telaga warna, bayar parkirnya 2 rb, kemudian jalan dikit ke loket, tiket masuk ke telaga warna ini independen, jadi gabisa dibeli terusan kayak tempat lain, kayak di anak emas in gitu, harga tiket masuknya 7.500 , selesai beli tiket, langsung aja masuk melalui pintu masuk yang ada disebelah tempat loket, jalan 50 meter an, dan kami menemukannya, sebuah telaga yang cukup besar, mungkin seukuran sama telaga sarangan atau ranu kumbolo, sama sama dikelilingi bukit juga, yang bikin beda adalah, telaga warna ini warnanya bukan ijo, tapi biru muda keijoan gitu (atau gampangnya, tosca,) warna telaga jadi kayak gitu karena di telaga warna kandungan belerangnya tinggi, di beberapa titik lubang lubang kecil di tanah yang secara terus menerus mengeluarkan gas belerang dari dalam sana, jadi gue simpulkan kalo airnya pasti beracun, dan akhirnya pupus sudah rasa pengen buat minum airnya telaga warna. Menikmati telaga warna dari dekat rasanya memang tidak terlalu wah, di sekitarnya ada jalan setapak memutari telaga, kita bisa jalan disana menuju ke sisi lain telaga, tapi jujur, rasanya sama, pemandangannya ga kerasa wah gitu, indah sih, tapi tetep aja belum “wah” dan sampahnya sama sama banyaknya, penyakitnya turis indonesia nih, suka buang sampah sembarangan.
namun karena 2 dari 3 mbak mbak itu udah nyerah kecapekan dan cuma satu yang tetep pengen ke telaga warna, akhirnya cuma 2 dari kami yang pergi, dan karena cuma 2 orang, kayaknya naik vicky lebih logis dari pada jalan kaki, hehehe.. gue ke telaga warna berdua aja, 5 menit motor an kami sampe di parkiran telaga warna, bayar parkirnya 2 rb, kemudian jalan dikit ke loket, tiket masuk ke telaga warna ini independen, jadi gabisa dibeli terusan kayak tempat lain, kayak di anak emas in gitu, harga tiket masuknya 7.500 , selesai beli tiket, langsung aja masuk melalui pintu masuk yang ada disebelah tempat loket, jalan 50 meter an, dan kami menemukannya, sebuah telaga yang cukup besar, mungkin seukuran sama telaga sarangan atau ranu kumbolo, sama sama dikelilingi bukit juga, yang bikin beda adalah, telaga warna ini warnanya bukan ijo, tapi biru muda keijoan gitu (atau gampangnya, tosca,) warna telaga jadi kayak gitu karena di telaga warna kandungan belerangnya tinggi, di beberapa titik lubang lubang kecil di tanah yang secara terus menerus mengeluarkan gas belerang dari dalam sana, jadi gue simpulkan kalo airnya pasti beracun, dan akhirnya pupus sudah rasa pengen buat minum airnya telaga warna. Menikmati telaga warna dari dekat rasanya memang tidak terlalu wah, di sekitarnya ada jalan setapak memutari telaga, kita bisa jalan disana menuju ke sisi lain telaga, tapi jujur, rasanya sama, pemandangannya ga kerasa wah gitu, indah sih, tapi tetep aja belum “wah” dan sampahnya sama sama banyaknya, penyakitnya turis indonesia nih, suka buang sampah sembarangan.
Setelah merasa cukup melihat
telaga ini dari dekat, dan juga karena mbak Esi musti ngejar jadwal
kereta, akhirnya kami menyudahi kunjungan ke telaga warna, dan balik
lagi ke komplek candi arjuna buat mengembalikan mbak esi ke kawan
kawannya, dan kamipun berpisah, mereka bilang akhir tahun mau balik
ke dieng lagi dan gue bilang kalo ada waktu gue juga bakal balik
lagi, dan bodohnya aku tidak tanya akhir tahun itu tanggal berapa,
dan juga ga minta kontaknya mereka, hahaha, sampai jumpa di ujung
jalan sana mbak mbaknya, entah dimasa yang mana..
Setelah berpisah dari mbak esi
dkk, saatnya melanjutakan perjalanan ke destinasi terakhir, Dieng
Plateau Teater (DPT), adalah sebuah teater kecil yang memutar video
tentang dieng plateau, video berdurasi sekitar 30 menit, berisi
tentang sejarah terbentuknya Dieng plateau, penamaan, kondisi
geologi, pariwisata serta adat dan budaya masyarakatnya. Dari DPT ini
gue tau kalo ternyata pada masa lalu, Kawasan dieng adalah sebuah
gunung api besar, jadi dulu di pulau jawa ada 2 gunung api yang
ukurannya sangat besar, Pertama gunung Tengger yang ambles menjadi
kawasan TNBTS yang titik tertingginya ada di gunung Penanjakan dan
yang kedua gunung Prau, yang ambles menjadi kawasan Dieng Plateau,
dengan titik tertinggi di puncak gunung Prau yang dikenal sekarang.
Jadi sebenarnya seluruh kawasan di dieng plateau itu adalah kaldera
dari gunung prau purba, wow keren kan, mereka (penduduk dieng) adalah
orang yang lahir dan besar di dalam gunung api.! Di videonya juga
dijelaskan bahwa di kawasan dieng plateau (kaldera prau) ada banyak
kawah kecil yang terbentuk, ada kawah sikidang yang relatif aman ada
juga kawah timbang yang sangat beracun (kalo mau tau detailnya,
dateng aja ke DPT), jadi kalo kalian pergi ke tempat yang tinggi di
kawasan dieng (sikunir atau gn prau atau yang lainnya) kalian akan
melihat banyak kepulan asap di kejauhan, itu bukan kebakaran, tapi
adalah gas yang keluar dari kawah kawah di kawasan dieng. Dieng
dipercaya sebagai tempat yang menjadi pusat peradaban hindu di masa
lalu, ditandai dengan ditemukannya komplek candi arjuna, nama dieng
sendiri juga diambil dari bahasa masa lalu, Di Hyang, sesuai yang
tertulis di candi arjuna, artinya gue lupa, cari aja di google, udah
banyak yang nulis kok. Satu hal yang teramat unik yang terjadi pada
masyarakat dieng adalah fenomena si anak gimbal, jadi beberapa anak
dieng itu begitu lahir dan tumbuh jadi balita, rambut mereka jadi
gimbal ala reggae gitu, menurut kepercayaan masyarakat sih itu simbol
yang kurang baik dari dewa, jadi saat mereka memasuki masa anak anak
(biasanya sebelum masuk sd), diadakan ritual untuk memotong rambut
gimbal mereka sebagai simbol membuang hal hal negatif yang menempel
pada si anak dengan syarat orang tua si anak harus menuruti apapun
kemauan anaknya, enak kan jadi anak gimbal.? Situ mau.? Hehehe...
DPT menjadi ujung eksplorasiku
di tempat wisata mainstream dieng plateau,banyak yang aku pelajari,
banyak hal hal epic dari masyarakat dieng, dan banyak pula rasa kesal
sama para pelancong yang kurang bertanggung jawab, yaah, yang menjadi
permasalahan utama industri pariwisata indonesia adalah mereka yang
menjadi konsumen industri tersebut, mereka yang datang dan berlaga
seperti raja yang boleh buang sampah seenak jidatnya. Jadi, be a wise
traveller, datang nikmati dan jangan merusak.! karena anak cucu kita
akan kecewa jika mereka hanya bisa menikmati keindahan itu lewat
foto, sedangkan yang aslinya sudah tiada..
Telaga Warna dari dekat..
DPT..
Telaga warna dilihat dari bukit belakang DPT..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar