Mendaki gunung, secara umum masuk kedalam kategori
olahraga dan atau hobi, tapi bagi sebagian orang, mendaki gunung bermakna lebih
dari sekedar itu, mendaki gunung adalah jalan hidup, mendaki gunung adalah
karakter, mendaki gunung adalah proses tumbuh dan belajar.
Ada ungkapan “kalau ingin tau sifat asli seseorang,
ajaklah dia mendaki gunung..” sebuah ungkapan klise yang tidak sepenuhnya
relevan untuk jaman sekarang dimana mendaki gunung bukan lagi hal yang jarang,
namun sudah sangat jamak dilakukan bahkan oleh ABG yang diotaknya hanya ada
kata jalan, istirahat dan foto foto. Makna dari mendaki gunung dalam kalimat
diatas sebenarnya adalah bersusah dalam perjuangan, ya,
mendaki gunung sebenarnya adalah tentang berjuang bersusah payah, berjalan
membawa beban dengan segala keterbatasan diketinggian sana, pada kondisi
seperti itu biasanya insting setiap manusia akan muncul dan dengan sendirinya
menampakkan watak asli dari si empunya badan. Namun saat ini kondisi diatas gunung
terasa berbeda, ada kesan yang menyiratkan kalau naik gunung itu mudah, dan
emang dipermudah, sehingga tidak mencapai kondisi yang cukup susah untuk
memunculkan watak asli seseorang. Apalagi dengan semakin ngetrennya tipe tipe
gunung yang “mudah” digapai puncaknya, seperti gunung prau dan atau andong di
jawa tengah. Hahahaha, sekedar mendaki tempat yang disebut gunung, sekedar
ikut, tanpa tau manajemen pendakian atau ilmu mountaineering lainnya, foto-foto
dan berakhir menyebut diri mereka sebagai pendaki gunung, menyedihkan..
Baiklah, lupakan satu paragraf diatas karena itu ga
penting..
Mendaki gunung adalah seni pengambilan keputusan,
tentang apa, kapan, siapa dan bagaimana dengan mempertimbangkan mengapa..
mendaki gunung menuntut kekuatan fisik.? Iya, memang, tapi sama sekali ga
berarti hanya mereka yang punya fisik bagus yang bisa naik gunung, sekali lagi
mendaki adalah seni tentang pengambilan keputusan, jadi dengan keputusan yang
tepat, sebuah pendakian pasti bisa dilakukan, bahkan oleh orang yang kakinya
Cuma satu (Om Sabar Gorky). Seni mengambil keputusan, dimana setiap keputusan
keputusan tersebut terangkai kedalam sebuah manajemen, manajemen pendakian.
Saya, sebagai seorang yang kebetulan juga suka
mendaki, sebenarnya adalah seorang yang payah dari segi fisik, saya tidak
pernah bisa lari 3 kali mengelilingi stadion manahan tanpa berhenti, tidak
pernah bisa push up lebih dari 20 kali, dan diperparah dengan perut yang tiap
hari makin buncit, hahaha, tapi sekali lagi mendaki gunung adalah seni, demi menutupi
kelemahan fisik itu jalan yang saya tempuh adalah dengan bermain di manajemen
pendakian. Belajar teori teori manajemen memang bisa dilakukan di kota, tapi
untuk implementasinya kita harus terjun ke lapangan, belajar manajemen itu
perlu pengalaman dan karena itu cara terbaik untuk belajar manajemen adalah
dengan sering sering naik gunung. Gunung Lawu di perbatasan jawa tengah dan
jawa timur, sangat terkenal, sangat ramai dan salah satu gunung yang menjadi
“yang pertama” bagi para pemula di sekitar solo dan madiun, termasuk juga saya,
dulu, saya perlu 3 kali mencoba untuk bisa sampai di puncak lawu, yang pertama
Cuma sampai di pos 2, yang kedua juga sampai di pos 2, baru yang ketiga
berhasil sampai puncak, pada kegagalan yang pertama saya belajar tentang cuaca,
membaca cuaca termasuk seni dalam pendakian, anda mungkin seorang yang tangguh
secara fisik, tapi badai di lawu sama sekali bukan hal yang bisa diajak main
main, faktanya adalah walau lawu sangat terkenal dan banyak dikunjungi, gunung
ini juga berada di daftar teratas gunung dengan jumlah korban jiwa paling
banyak. Dengan pertimbangan itu saya dan rombongan berhenti di pos 2,
berlindung dan turun keesokan harinya, lebih baik selamat bukan.?. Kegagalan
kedua, belajar tentang penaklukan diri, saat itu jam 12 malam saya tiba di pos
2 setelah berjalan 4 jam dari basecamp, karena merasa lelah kami memutuskan
istirahat di pos 2, dan itu keputusan yang buruk, karena rencana bangun jam 3
hanya tinggal rencana, tubuh tak mampu melawan dingin dan pikiran tak mampu
melawan ego untuk tetap bergelung didalam tenda yang hangat, jadilah kami baru
bangun pukul 6, dengan estimasi perjalanan pos 2-puncak sekitar 3-5 jam,
ditambah waktu untuk istirahat di puncak, turun kembali dengan tenaga yang
sudah terkuras ke pos 2, packing, lalu turun lagi ke base camp, saya rasa baru
bisa sampai di base camp jam 5-6 sore dan itu bukan keputusan yang baik
mengingat esok harinya kami harus sekolah, jadilah kami memutuskan untuk turun
dan tidak ke puncak. Dari perjalanan kedua ini saya belajar satu hal tenntang
perjalanan di lawu, apapun yang terjadi, jika pengen sampai puncak, jangan
berhenti di pos 2, kecuali punya waktu pendakian yang panjang. Pendakian ketiga
cenderung lancar, naik lebih awal, istirahat di pos 3, esoknya bangun lebih
awal, kepuncak, lalu pulang lebih awal, berkat pelajaran dari kegagalan
sebelumnya, hahaha..
Dan begitulah, sejak saat itu saya pribadi tidak
terlalu khawatir dengan kemampuan fisik yang lemah, asal saya diijinkan
menggunakan manajemen yang saya buat, saya optimis bakal bisa sampai puncak,
merapi, merbabu, ungaran, salah satu yang paling berkesan, ke Mahameru, dan
satu yang paling menguji kemampuan manajemen saya, ke Sumbing, kalo kegunung
prau gausah dihitung kali yak, hahaha..
Sampai disini, saya sama sekali belum merasa menjadi
seorang pendaki, karena bagi saya seorang pendaki punya harus memenuhi syarat
beberapa aspek, termasuk Fisik yang kuat, kemampuan manajemen, kemampuan
teknikal (baca peta, tali temali, survival, dll) dan juga pengetahuan medis.
Saya yang hanya mengandalkan kemampuan manajemen dan cenderung lemah di aspek
lain hanya bisa dibilang bisa mendaki gunung, belum menjadi pendaki gunung
apalagi pendaki profesional.
Jadi, mari mendaki, kemana.? Arjuna.? Atau slamet.?
Atau rinjani.? Hahaha, pelan pelan yak, saya perlu waktu buat mikirin
manajemennya.. Salam lestari.!
Ujung dari sebuah manajemen yang solid, Puncak Sumbing..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar