Rabu, 10 April 2013

Jogja, Ke"biasa"an yang indah..



Orang bilang, saat kita mulai berhenti untuk mencari, maka kita akan menemukan apa yang kita cari. Ya, mungkin begitulah, satu hal kecil yang mulai aku pelajari.
Siang itu, minggu 24 maret 2013. Aku sedang berada dirumah vica bersama kipli dan mia. Tiba tiba saja kipli mengajak untuk caving ke cerme pada hari kamis. Tak berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan itu, sementara vica dan mia menolak dengan alasan masing masing. Menyebar undangan, mas jon, aziz dan kumara ikut, berlima, oke siap..! sebenarnya siti juga ingin ikut, tapi dilarang ortu karena ujian, kaasihann..

Rabu 27 maret 2013, kabar yang menyebalkan. LDK osis ternyata digelar besuk, atau bersamaan dengan rencana caving, kumara sebagai peserta LDK tentunya tak bisa berangkat, tinggal berempat, tak masalah. Yang jadi masalah adalah, i’m the leader of osis, walaupun yang LDK adalah kelas 1 dan 2, namun sebagai kelas 3 biasanya ikut mendampingi dan memberikan beberapa masukan kepada calon pengurus baru. Seketika galau menyerang, berangkat ke cerme atau ikut LDK, akhirnya jalan tengah diambil. Tetap berangkat tapi jadwal diundur dari semula jam 4 sore jadi jam 7 malam, jadi sorenya ikut LDK dulu.. yeeaah..
Kamis, 28 maret 2013, selepas maghrib, waktu itu aku berada di sekolah, tiba tiba mas jon sms kalau dia tidak bisa ikut,, aaah, paet.! Tak apalah, the show must go on.! Jam 7 malam, aku tiba di rumah mas jon (tempat kumpul), setengah jam kemudian aziz, lalu kipli juga.. duduk, lalu membahas kelangsungan acara ini, hanya bertiga, kurang menyenangkan jika caving hanya bertiga, oke, kita ganti destinasi, tapi kemana.? Pantai Soge.? Jangan, kasihan siti, lalu kemana.? Parangtritis.? Ha.? Okelah, yang penting berangkat dulu, esok pagi kita kan bisa pindah tempat, lagipula aziz juga belum pernah kesana.. ya, disinilah aku mulai mengerti, sebagai seorang traveller, kita harus belajar untuk mengendorkan ikat pinggang kita, melepaskan diri dari jadwal serta ambisi ambisi, membiarkan diri kita mengalir sebebas mungkin bersama waktu. Banyak pelancong di dunia ini yang “kehilangan kebahagiaan” karena mereka terlalu berambisi akan sesuatu, seperti foto, cerita ataupun tempat tujuan. Disini aku belajar, bahwa hal terpenting adalah berangkat, masalah tujuan itu bisa fleksibel, setelah berangkat kita hanya perlu mengikuti alur yang ada, membiarkan hati membawa kita menyusuri waktu yang tersedia, mengikuti kemana angin berhembus lalu kita akan menemukan cerita serta kejutan-kejutan kecil dari semua itu. Setiap tempat menyimpan cerita tersendiri, walau sesederhana apapun, termasuk parangtritis, semoga.
Sebelum berangkat, kami kembali ke sekolah untuk mengambil kompor lalu kerumah siti meminjam nesting. Perjalanan dimulai, menyurusi jalanan yang ramai kartasura, delanggu, klaten, prambanan, dan akhirnya Jogja. Selepas jembatan layang aziz berteriak dari motornya “di solo gak ada kayak gini ya.” Entah apa maksudnya, aku dan kipli hanya tertawa, perjalanan berlanjut langsung menuju parangtritis. Awalnya kami berpikir di parangtritis akan ada minimarket semacam indomaret, sehingga kami memutuskan untuk belanja disana, tapi ternyata tak ada,hanya ada toko-toko di dalam home stay, dan harganya pasti mahal. Kamipun memutuskan untuk mencari minimarket ditempat lain, biasanya di ibukota kecamatan ada, jadilah kami menuju ke Panggang, kecamatan terdekat sekitar 14 km dari parangtritis, hahaha, sekalian jalan-jalan, lagi pula baru jam 11 malam. Tiba di Panggang, sepi, tak ada apa apa, hanya beberapa bapak-bapak di sebuah angkringan, ah sial.. Berbalik dan sia-sia.? Tidak, terus saja.! Kamipun melanjutkan perjalanan, hanya lurus mengikuti jalan, tak tau kearah mana kami pergi, hanya berharap kami akan menemukan peradaban yang lain dan ada pantai disana untuk menginap. Entah kami yang bodoh atau memang tuhan sedang bermain main dengan kami, setelah 11 km kami berjalan kami kembali ke patung kuda yang berjarak 3 km dari parangtritis. Ah bodoh, ternyata kami hanya memutar, jadilah kami kembali ke parang tritis, belanja di toko yang agak mahal (dari indomaret) lalu langsung menuju bibir pantai yang menjadi penginapan kami malam itu.
Parang tritis, sebuah pantai yang sangat terkenal. sebenarnya kami agak bingung mengapa pantai ini bisa lebih terkenal dibanding pantai-pantai lain di jogja, mungkin karena aksesnya yang mudah atau karena legenda ratu kidulnya, entahlah, yang jelas karena ketenarannya pantai ini banyak sekali dikunjungi oleh turis-turis tidak bertanggung jawab sehingga kondisinya menjadi seperti sekarang, mengenaskan.! Banyak sekali sampah disini, mulai dari plastik, sampah-sampah organik sampai tumpahan oli pun ada. Sedikit beruntung karena kami disini hanya untuk menginap, suasana malam disini sebenarnya sangat menyenangkan. Di bibir pantai berjajar kelompok-kalompok pemuda (termasuk kami) yang begadang menikmati malam dan sinar bulan, ada pula penjual bakso yang membawa gerobaknya sampai ke bibir pantai, berasa seperti di kuta, hahaha..
 
Malam itu aku tidak tidur, dibawah sisa sisa purnama aku terbaring diatas matras, seperti biasa, pikiran ini seakan terpacu untuk berpikir mengenai apa yang aku alami beberapa waktu terakhir. Ya, terkadang kita dihadapkan dengan situasi yang diluar digaan dan diluar rencana, kita bisa saja merencanakan untuk pergi travelling seminggu sebelum hari keberangkatan, setelah rencana fix, lalu kemudian ada undangan untuk acara yang penting dihari yang sama, itu menyebalkan.! Akhirnya kita terpaksa memilih, seorang teman mengatakan “kan masih ada hari lain untuk travelling..”, mungin dia benar tapi tetap saja hatiku tak bisa menerima, bukan bermaksud mengesampingkan undangan yang penting itu, memang benar masih akan ada hari lain, ya, tapi hatiku berkata “disaat hari lain itu tiba, aku akan pergi ke tempat yang berbeda, dengan cerita yang berbeda, jadi sekarang harus berangkat.!” Hahaha, terdengar egois, tapi mengikuti kata hati itu tidak pernah salah, maaf..
Menjelang shubuh, suasana malam yang damai itu sirna, berganti dengan hiruk pikuk para penghuni homestay yang mulai berdatangan untuk menikmati sunrise. Jadilah pantai ini begitu ramai, disebelah kami ada keluarga kecil dengan 2 anak mereka yang masih balita bermain main pasir, seakan tak menghiraukan sampah yang bercampur di pasir tersebut. Di kejauhan nampak pula sepasang muda-mudi yang berjalan beriringan menikmati pagi di bibir pantai, sesekali ombak menyapu kaki mereka membuat si perempuan takut lalu memeluk kekasihnya. Aah, pagi selalu menceritakan tentang harapan, dan pagi itu, harapan itu bernama cinta. Pemandangan yang indah, tapi kami harus segera pergi, mencari masjid terdekat untuk cuci muka dan sholat lalu menentukan tujuan berikutnya.
Selesai dengan urusan pagi hari di masjid al a’la (sekitar 3 km dari pantai) kami memutuskan untuk pergi ke kota jogja, hahaha.. keputusan yang aneh mengingat selama ini kami sama sekali tak menyukai suasana kota yang cenderung ramai dan sumpek, tapi jogja di pagi hari sepertinya menawarkan keindahan tersendiri. Ok berangkat.! Jarak ke jogja sekitar 30 an menit dari parangtritis, melintasi persawahan dan pemukiman yang semakin padat. Pemandangan yang biasa saja, terlihat beberapa petani mulai pergi ke sawah serta anak anak yang bermain di halaman rumah, tapi hal yang menarik adalah seorang kakek-kakek yang bersepeda mengenakan kaus putih dengan tulisan “Aku bangga jadi PHP” dibelakangnya, hahaha, ada ada saja..
Sampai di kota jogja, kami merasa lapar, okelah cari tempat buat masak, di alun-alun sepertinya memungkinkan, tapi mampir indomaret dulu buat jajan. Jadilah menuju alun-alun utara, lalu masak menu biasa, indomie goreng, dan telur rebus, lumayanlah. Selesai makan selanjutnya menuju malioboro, ya, sebuah jalan yang sangat terkenal di kota jogja. Kami memarkir motor, pasang stand traveller dan mulai berjalan menyusuri jalan ini menuju ke titik nol kota jogja, disepanjang malioboro terdapat banyak toko, penjual makanan dan pastinya penjual oleh-oleh khas jogja seperti kaos dan aksesoris. Belanjanya nanti saja, lanjut jalan melawati pasar beringharjo, pasar yang paling terkenal di jogja, terlalu ramai, malas masuk, lanjut saja melewati benteng vredeburg, kami tidak masuk, hanya berfoto di gerbangnya saja, hehehe..lanjut lagi sampai di monumen serangan umum 1 maret, disini sebenarnya kami ingin masuk kedalam monumen, tapi tutup, yaudah kami duduk-duduk saja di depan sambil mengambi beberapa foto. Titik nol kota jogja, ya, ternyata diujung jalan malioboro adalah titik nol kota jogja, hahaha, kami baru tau itu setelah membaca papan himbauan bertuliskan “Dilarang berjualan di kawasan titik nol kota jogja”, bodoh.. selain monumen serangan umum 1 maret. Di kawasan ini juga ada kantor pos indonesia yang merupakan salah satu kantor pos tertua di indonesia, ada pula munomen batik jogjakarta, ada banyak sample design batik di seluruh jogja beserta sejarah dan penggunaannya.
Jogja, sebuah destinasi yang teramat “biasa”, terutama untuk para pemuda yang hidup di solo, mungkin hampir 90 % pernah ke kota ini. Mungkin hal itu yang membuat kami hampir tidak pernah memikirkan “Kota Jogja” sebagai destinasi perjalanan kami, ketika mendengar kata jogja, hanya deretan pantai dan gua-gua di kabupaten gunung kidul yang ada diotak kami. Selama ini kami terlalu jaim, sehingga kami melupakan keindahan di tempat yang biasa ini, kami mungkin telah pergi ke banyak tempat yang belum banyak dikunjungi orang biasa, tapi kenyataan yang menyebalkan adalah kali ini justru baru pertama kali bagi kami mengunjungi tempat yang sudah sangat biasa dikunjungi orang biasa ini, dan kami menikmatinya.. aah.. sedikit pelajaran, setiap tempat itu punya keindahan, cerita dan kejutan tersendiri, tak peduli seberapa sederhana atau biasa tempat itu, kunjungilah dan nikmatilah, jangan banyak menghujat dan jangan kebanyakan jaim.!
Hari menjelang siang, mulai panas.. mari bergegas kembali tapi jangan lupa beli oleh-oleh dulu, hehehe.. “Setiap melakukan perjalanan, belilah sesuatu untuk dibawa pulang, atau beberapa foto, atau sebait tulisan atau setidaknya sesuatu untuk diceritakan, karena itu bisa menjadi buah tangan yang menghangatkan, bagi mereka yang menunggumu pulang..” sesuatu yang aku pelajari beberapa waktu terakhir, dan ya, setelah berkali-kali berpindah penjual, akhirnya 2 kaos oblong dan gantungan kunci kupilih untuk aku bawa pulang untuk ibu, mia dan putriku yang nakal.. hehehe, selesai belanja saatnya pulang. Destinasi selanjutnya adalah mencari masjid untuk sholat jum’at, mengambil jalan keluar dari kota jogja kearah solo, di sepanjang jalan kami menemukan kenyataan bahwa Jogja gak nyaman saat siang, selain ramai, banyak traffic  light dan tentu saja panas, aah nikmati saja. 30 menit perjalanan dan kamipun memutuskan untuk sholat di masjid yang saya lupa namanya di daerah kalasan, sleman. Cerita selanjutnya adalah Sholat jum’at, istirahat dan kemudian pulang.. Haahahahaha..



“Traveller bukanlah Turis, karena mereka bisa menikmati setiap perjalanan bahkan yang sangat sederhana sekalipun, dan traveller juga tidak MERUSAK setiap tempat yang ia datangi, Pray For Parangtritis, Pray For Indonesia..

Surakarta, 10 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Labels

air terjun (1) alun alun (1) balekambang (1) banyutibo (1) blado (1) bromo (1) buyutan (1) candi (2) Candi Arjuna (1) coretan (21) damas (1) dieng (4) gunung (7) jalan jalan (22) jamus (1) jawa timur (1) jogja (4) klayar (1) konang (1) kota batu (1) malang raya (3) malang selatan (2) malaysia (1) Manchester (1) maron (1) marun (1) merapi (2) MU (1) munjunga (1) nampu (1) new cyber (1) ngiriboyo (1) ngiroboyo (1) pacitan (3) panggul (1) pantai (11) pasir putih (3) pelang (1) Prau (1) prigi (1) pujiharjo (1) Sikidang (1) sipelot (1) siung (2) solotraveller (16) sumbing (1) sungai (1) sunrise (1) surabaya (1) tkjc (2) trenggalek (2) United (1) watulimo (1) wediombo (1) wonogiri (1) wonosobo (2)