Orang bilang, saat kita mulai berhenti untuk
mencari, maka kita akan menemukan apa yang kita cari. Ya, mungkin begitulah,
satu hal kecil yang mulai aku pelajari.
Siang itu, minggu 24 maret 2013. Aku sedang berada
dirumah vica bersama kipli dan mia. Tiba tiba saja kipli mengajak untuk caving
ke cerme pada hari kamis. Tak berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan itu,
sementara vica dan mia menolak dengan alasan masing masing. Menyebar undangan,
mas jon, aziz dan kumara ikut, berlima, oke siap..! sebenarnya siti juga ingin
ikut, tapi dilarang ortu karena ujian, kaasihann..
Rabu 27 maret 2013, kabar yang menyebalkan. LDK osis
ternyata digelar besuk, atau bersamaan dengan rencana caving, kumara sebagai
peserta LDK tentunya tak bisa berangkat, tinggal berempat, tak masalah. Yang jadi
masalah adalah, i’m the leader of osis, walaupun yang LDK adalah kelas 1 dan 2,
namun sebagai kelas 3 biasanya ikut mendampingi dan memberikan beberapa masukan
kepada calon pengurus baru. Seketika galau menyerang, berangkat ke cerme atau
ikut LDK, akhirnya jalan tengah diambil. Tetap berangkat tapi jadwal diundur
dari semula jam 4 sore jadi jam 7 malam, jadi sorenya ikut LDK dulu.. yeeaah..
Kamis, 28 maret 2013, selepas maghrib, waktu itu aku
berada di sekolah, tiba tiba mas jon sms kalau dia tidak bisa ikut,, aaah,
paet.! Tak apalah, the show must go on.! Jam 7 malam, aku tiba di rumah mas jon
(tempat kumpul), setengah jam kemudian aziz, lalu kipli juga.. duduk, lalu
membahas kelangsungan acara ini, hanya bertiga, kurang menyenangkan jika caving
hanya bertiga, oke, kita ganti destinasi, tapi kemana.? Pantai Soge.? Jangan,
kasihan siti, lalu kemana.? Parangtritis.? Ha.? Okelah, yang penting berangkat
dulu, esok pagi kita kan bisa pindah tempat, lagipula aziz juga belum pernah
kesana.. ya, disinilah aku mulai mengerti, sebagai seorang traveller, kita
harus belajar untuk mengendorkan ikat pinggang kita, melepaskan diri dari
jadwal serta ambisi ambisi, membiarkan diri kita mengalir sebebas mungkin
bersama waktu. Banyak pelancong di dunia ini yang “kehilangan kebahagiaan”
karena mereka terlalu berambisi akan sesuatu, seperti foto, cerita ataupun
tempat tujuan. Disini aku belajar, bahwa hal terpenting adalah berangkat,
masalah tujuan itu bisa fleksibel, setelah berangkat kita hanya perlu mengikuti
alur yang ada, membiarkan hati membawa kita menyusuri waktu yang tersedia,
mengikuti kemana angin berhembus lalu kita akan menemukan cerita serta
kejutan-kejutan kecil dari semua itu. Setiap tempat menyimpan cerita
tersendiri, walau sesederhana apapun, termasuk parangtritis, semoga.
Sebelum berangkat, kami kembali ke sekolah untuk
mengambil kompor lalu kerumah siti meminjam nesting. Perjalanan dimulai,
menyurusi jalanan yang ramai kartasura, delanggu, klaten, prambanan, dan
akhirnya Jogja. Selepas jembatan layang aziz berteriak dari motornya “di solo
gak ada kayak gini ya.” Entah apa maksudnya, aku dan kipli hanya tertawa,
perjalanan berlanjut langsung menuju parangtritis. Awalnya kami berpikir di
parangtritis akan ada minimarket semacam indomaret, sehingga kami memutuskan
untuk belanja disana, tapi ternyata tak ada,hanya ada toko-toko di dalam home
stay, dan harganya pasti mahal. Kamipun memutuskan untuk mencari minimarket
ditempat lain, biasanya di ibukota kecamatan ada, jadilah kami menuju ke
Panggang, kecamatan terdekat sekitar 14 km dari parangtritis, hahaha, sekalian
jalan-jalan, lagi pula baru jam 11 malam. Tiba di Panggang, sepi, tak ada apa
apa, hanya beberapa bapak-bapak di sebuah angkringan, ah sial.. Berbalik dan
sia-sia.? Tidak, terus saja.! Kamipun melanjutkan perjalanan, hanya lurus
mengikuti jalan, tak tau kearah mana kami pergi, hanya berharap kami akan
menemukan peradaban yang lain dan ada pantai disana untuk menginap. Entah kami
yang bodoh atau memang tuhan sedang bermain main dengan kami, setelah 11 km
kami berjalan kami kembali ke patung kuda yang berjarak 3 km dari parangtritis.
Ah bodoh, ternyata kami hanya memutar, jadilah kami kembali ke parang tritis,
belanja di toko yang agak mahal (dari indomaret) lalu langsung menuju bibir
pantai yang menjadi penginapan kami malam itu.
Parang tritis, sebuah pantai yang sangat terkenal.
sebenarnya kami agak bingung mengapa pantai ini bisa lebih terkenal dibanding
pantai-pantai lain di jogja, mungkin karena aksesnya yang mudah atau karena
legenda ratu kidulnya, entahlah, yang jelas karena ketenarannya pantai ini
banyak sekali dikunjungi oleh turis-turis tidak bertanggung jawab sehingga
kondisinya menjadi seperti sekarang, mengenaskan.! Banyak sekali sampah disini,
mulai dari plastik, sampah-sampah organik sampai tumpahan oli pun ada. Sedikit
beruntung karena kami disini hanya untuk menginap, suasana malam disini
sebenarnya sangat menyenangkan. Di bibir pantai berjajar kelompok-kalompok
pemuda (termasuk kami) yang begadang menikmati malam dan sinar bulan, ada pula
penjual bakso yang membawa gerobaknya sampai ke bibir pantai, berasa seperti di
kuta, hahaha..

Malam itu aku tidak tidur, dibawah sisa sisa purnama
aku terbaring diatas matras, seperti biasa, pikiran ini seakan terpacu untuk
berpikir mengenai apa yang aku alami beberapa waktu terakhir. Ya, terkadang
kita dihadapkan dengan situasi yang diluar digaan dan diluar rencana, kita bisa
saja merencanakan untuk pergi travelling seminggu sebelum hari keberangkatan,
setelah rencana fix, lalu kemudian ada undangan untuk acara yang penting dihari
yang sama, itu menyebalkan.! Akhirnya kita terpaksa memilih, seorang teman
mengatakan “kan masih ada hari lain untuk travelling..”, mungin dia benar tapi
tetap saja hatiku tak bisa menerima, bukan bermaksud mengesampingkan undangan
yang penting itu, memang benar masih akan ada hari lain, ya, tapi hatiku
berkata “disaat hari lain itu tiba, aku akan pergi ke tempat yang berbeda,
dengan cerita yang berbeda, jadi sekarang harus berangkat.!” Hahaha, terdengar
egois, tapi mengikuti kata hati itu tidak pernah salah, maaf..
Menjelang shubuh, suasana malam yang damai itu
sirna, berganti dengan hiruk pikuk para penghuni homestay yang mulai
berdatangan untuk menikmati sunrise. Jadilah pantai ini begitu ramai, disebelah
kami ada keluarga kecil dengan 2 anak mereka yang masih balita bermain main
pasir, seakan tak menghiraukan sampah yang bercampur di pasir tersebut. Di
kejauhan nampak pula sepasang muda-mudi yang berjalan beriringan menikmati pagi
di bibir pantai, sesekali ombak menyapu kaki mereka membuat si perempuan takut
lalu memeluk kekasihnya. Aah, pagi selalu menceritakan tentang harapan, dan
pagi itu, harapan itu bernama cinta. Pemandangan yang indah, tapi kami harus
segera pergi, mencari masjid terdekat untuk cuci muka dan sholat lalu
menentukan tujuan berikutnya.
Selesai dengan urusan pagi hari di masjid al a’la
(sekitar 3 km dari pantai) kami memutuskan untuk pergi ke kota jogja, hahaha..
keputusan yang aneh mengingat selama ini kami sama sekali tak menyukai suasana
kota yang cenderung ramai dan sumpek, tapi jogja di pagi hari sepertinya
menawarkan keindahan tersendiri. Ok berangkat.! Jarak ke jogja sekitar 30 an
menit dari parangtritis, melintasi persawahan dan pemukiman yang semakin padat.
Pemandangan yang biasa saja, terlihat beberapa petani mulai pergi ke sawah
serta anak anak yang bermain di halaman rumah, tapi hal yang menarik adalah
seorang kakek-kakek yang bersepeda mengenakan kaus putih dengan tulisan “Aku
bangga jadi PHP” dibelakangnya, hahaha, ada ada saja..
Sampai di kota jogja, kami merasa lapar, okelah cari
tempat buat masak, di alun-alun sepertinya memungkinkan, tapi mampir indomaret
dulu buat jajan. Jadilah menuju alun-alun utara, lalu masak menu biasa, indomie
goreng, dan telur rebus, lumayanlah. Selesai makan selanjutnya menuju
malioboro, ya, sebuah jalan yang sangat terkenal di kota jogja. Kami memarkir
motor, pasang stand traveller dan mulai berjalan menyusuri jalan ini menuju ke
titik nol kota jogja, disepanjang malioboro terdapat banyak toko, penjual makanan
dan pastinya penjual oleh-oleh khas jogja seperti kaos dan aksesoris.
Belanjanya nanti saja, lanjut jalan melawati pasar beringharjo, pasar yang
paling terkenal di jogja, terlalu ramai, malas masuk, lanjut saja melewati
benteng vredeburg, kami tidak masuk, hanya berfoto di gerbangnya saja,
hehehe..lanjut lagi sampai di monumen serangan umum 1 maret, disini sebenarnya
kami ingin masuk kedalam monumen, tapi tutup, yaudah kami duduk-duduk saja di
depan sambil mengambi beberapa foto. Titik nol kota jogja, ya, ternyata diujung
jalan malioboro adalah titik nol kota jogja, hahaha, kami baru tau itu setelah
membaca papan himbauan bertuliskan “Dilarang berjualan di kawasan titik nol
kota jogja”, bodoh.. selain monumen serangan umum 1 maret. Di kawasan ini juga
ada kantor pos indonesia yang merupakan salah satu kantor pos tertua di
indonesia, ada pula munomen batik jogjakarta, ada banyak sample design batik di
seluruh jogja beserta sejarah dan penggunaannya.
Jogja, sebuah destinasi yang teramat “biasa”,
terutama untuk para pemuda yang hidup di solo, mungkin hampir 90 % pernah ke
kota ini. Mungkin hal itu yang membuat kami hampir tidak pernah memikirkan
“Kota Jogja” sebagai destinasi perjalanan kami, ketika mendengar kata jogja,
hanya deretan pantai dan gua-gua di kabupaten gunung kidul yang ada diotak
kami. Selama ini kami terlalu jaim, sehingga kami melupakan keindahan di tempat
yang biasa ini, kami mungkin telah pergi ke banyak tempat yang belum banyak
dikunjungi orang biasa, tapi kenyataan yang menyebalkan adalah kali ini justru
baru pertama kali bagi kami mengunjungi tempat yang sudah sangat biasa
dikunjungi orang biasa ini, dan kami menikmatinya.. aah.. sedikit pelajaran,
setiap tempat itu punya keindahan, cerita dan kejutan tersendiri, tak peduli
seberapa sederhana atau biasa tempat itu, kunjungilah dan nikmatilah, jangan
banyak menghujat dan jangan kebanyakan jaim.!
“Traveller bukanlah Turis, karena mereka bisa
menikmati setiap perjalanan bahkan yang sangat sederhana sekalipun, dan
traveller juga tidak MERUSAK setiap tempat yang ia datangi, Pray For
Parangtritis, Pray For Indonesia..
Surakarta, 10 April 2013

Tidak ada komentar:
Posting Komentar